Wednesday, February 26, 2014

Tujuan Pengobatan Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) menjadi salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas. Penyakit ini dapat menurunkan potensi Sumber Daya Manusia di suatu negara. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi system kesehatan secara massal bahkan harus menjadi perhatian kesehatan suatu Negara.

Penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang sulit untuk disembuhkan secara total dan juga merupakan salah satu penyakit degeneratif, dimana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria). Namun hingga saat ini upaya penganggulangan penyakit diabetes melitus dalam pelayanan kesehatan masih belum menempati skala prioritas utama, walaupun telah diketahui cukup besarnya dampak "negatif" yang ditimbulkan oleh penyakit ini, antara lain hipertensi, otak, komplikasi kronik pada penyakit jantung kronis, hati, mata, system saraf dan ginjal.


Tujuan pengobatan diabetes pada dasarnya adalah mengontrol glikemi atau gula darah hingga mencapai kadar gula yang mendekati normal (kadar gula darah orang sehat). Namun, di tengah pengobatan ini harus dicegah terjadinya hipoglikemi atau kadar gula darah yang terlalu rendah. Bila tujuan tersebut tidak dicapai maka penderita diabetes akan merasa lebih sehat dan menikmati kualitas hidup yang lebih baik. Selain itu, timbulnya komplikasi yang serius dan mengancam jiwa penderita dapat dicegah. 

Pengobatan diabetes harus dikelola melalui beberapa tahapan yang paling terkait. Pengelolaan diabetes ini meliputi edukasi, perencanaan makan, latihan jasmani, dan penggunaan obat-obatan, baik oral maupun insulin.

Terapi insulin wajib diberikan pada penderita diabetes melitus tipe I. pada penderita diabetes melitus tipe II, sekitar 40 persenya juga harus menjalani terapi insulin. Tes gula darah dapat secara efektif menentukan jumlah insulin yang dibutuhkansetiap harinya. Terapi insulin yang dianjurkan adalah saat pagi hari sebelum sarapan, dua jam setelah makan, dan malam hari sebelum tidur. Selain itu, diperlukan pula pengukuran pada saat tertentu, misalnya pengukuran yang lebih ketat jika terjadi hipoglikemi, saat sebelum olah raga, dan pada kehamilan. Pengobatan diabetes bisa dikatakan berhasil jika glukosa darah puasa adalah 80 sampai 109 mg/dl, kadar glukosa darah dua jam adalah 80 sampai 144 mg/dl, dan kadar HB A1c kurang dari tujuh persen.pengukuran hemoglobin (Hb) terglikosilasi HBA1c (A1c) adalah cara yang paling akurat untuk menentukan tingkat ketinggian gula darah selama dua sampai tiga bulan terakhir.

Hemoglobin adalah bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen. Salah satu jenis dari Hb adalah HbA dan HbA1c merupakan subtype spesifik dari HbA. Semakin tinggi kadar glukosa darah, akan semakin cepat HbA1c terbentuk, yang mengakibatkan tingginya kadar HbA1c. HbA1c ini juga merupakan pemeriksaan tunggal terbaik untuk menilai risiko terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh tingginya kadar gula darah. Contohnya, pada saraf dan pembuluh darah kecil di mata dan ginjal. Selain itu, juga bisa menilai risiko terhadap komplikasi penyakit diabetes.

Semoga informasi ini bermanfaat untuk kita semua dan semoga kita terbebas dari penyakit diabetes melitusini.

Monday, February 17, 2014

Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus Tipe 2 ini lebih umum dibandingkan tipe lain. Jumlah penderitanya pun lebih banyak dari penderita Diabetes Melitus Tipe 1. Ada sekitar 90-95% penderita Diabetes Melitus Tipe 2 dari seluruh populasi penderita diabetes. Usia penderita Diabetes Melitus Tipe 2 ini pada umumnya diatas 45 tahun. Diabetes Melitus Tipe 2 dikalangan anak-anak dan remaja pun kian meningkat.
Namun akhir-akhir ini populasi penderita


Etiologi Diabetes Melitus Tipe 2 sebetulnya serupakan multifaktor yang belum terungkap jelas. Pengaruh lingungan dan faktor genetika masih menjadi faktor utama penyebab penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 ini. Faktor-faktor lain yaitu diet rendah serat dan tinggi lemak, badan kurang gerak dan obesitas.

Salah satu faktor pradisposisi utama yaitu Obesitas atau kegemukan. Hubungan antara gen-gen yang berpengaruh atas obesitas dan gen-gen yang menjadi faktor pradisposisi penyakit diabetes melitus tipe 2 sangat erat. Ini ditunjukkan setelah dilakukan penelitian terhadap mencit dan tikus.

Berbeda dengan Diabetes Melitus Tipe 1, pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis Diabetes Melitus Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel ß Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada Diabetes Melitus Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Sel-sel ß kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan Diabetes Melitus Tipe 2, sel-sel ß menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita Diabetes Melitus Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel ß pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita Diabetes Melitus Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:
  • Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
  • Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
  • Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl)
  • Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).

Saturday, February 15, 2014

Tips Mengontrol Gula Darah

Penyakit diabetes melitus sangat erat kaitannya dengan pengontrolan gula darah. Kenapa demikian? Karena penyakit diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia dan merupakan penyakit yang paling menonjol terkait dengan kegagalan pengontrolan gula darah.

Jika kadar gula darah berada di luar kisaran normal, hal itu bisa menjadi indikator kondisi medis. Gula darah tinggi yang terus-menerus disebut hiperglikemia atau jika rendah seperti hipoglikemia.

Gula atau glukosa adalah sumber energi untuk sel tubuh. Rata-rata tingkat glukosa darah normal pada manusia adalah sekitar 4 mM (4 mmol/L atau 72 mg/dL).

Adapun tips untuk mengontrol gula darah

1. Latihan Olahraga
Olahraga setidaknya 20 sampai 30 menit setiap hari. Tidak berolahraga dan makan yang buruk dapat memperburuk resistensi insulin seseorang. Pilihlah olahraga yang disukai agar tidak merasa bosan.

2. Menambahkan kayu manis pada makanan
Studi menunjukkan kayu manis dapat meningkat sensitivitas insulin. Ini berarti tubuh akan membutuhkan lebih sedikit hormon insulin untuk menjaga kadar gula darah. Menambahkan kayu manis ke dalam makanan pencuci mulut dapat menekan kadar gula darah tanpa menghilangkan rasa manis.

3. Jika glukosa darah tinggi, konsumsi asam alpha lipoic
"Suplemen ini tidak terkalahkan sebagai nutrisi gula darah dan diresepkan di Eropa," kata Jonny Bowden, Ph.D., C.N.S., penulis The Most Effective Natural Cures on Earth. Bowden merekomendasikan 300 mg dua kali sehari.

4. Hindari minuman penambah energi yang manis
Ilmuwan University of Massachusetts baru-baru ini menemukan bahwa olahraga meningkatkan sensitivitas insulin sebesar 40 persen ketika defisit 500 kalori telah dibuat, tetapi tidak menghasilkan peningkatan bila energi yang terbakar segera diganti dengan karbohidrat pada minuman berenergi yang manis.

5. Monitor glukosa
Hal ini akan memungkinkan untuk mengetahui bagaimana makanan dan minuman tertentu mempengaruhi gula darah. Cukup dengan menusuk jari 2 jam setelah makan. Jumlahnya tidak boleh lebih dari 139 mg/dL, dan seharusnya tidak kurang dari 100 mg/dL. Jika keluar dari jangkauan tersebut, berarti Anda memerlukan tes toleransi glukosa oral.

6. Untuk camilan, konsumsilah labu atau biji bunga matahari
Sedikit camilan ini tidak akan mempengaruhi gula darah. Dan menurut sebuah studi dari 2.006 peneliti Universitas Tufts, camilan-camilan ini kaya magnesium yang dapat melawan resistensi insulin.

7. Makan setiap 2 hingga 3 jam sekali
Makan 2-3 jam sekali bisa berupa buah atau jus minim gula. Makan dengan frekuensi ini akan membantu menjaga kestabilan gula darah dan mencegah makan terlalu banyak.

8. Cek kesehatan
Jika Anda menggunakan thiazide diuretik untuk hipertensi, konsultasikan pada dokter untuk beralih ke ACE inhibitor. Pada tahun 2006, tinjauan Hypertension terhadap 59 obat, ditemukan ada hubungan yang kuat antara kadar kalium rendah yang disebabkan oleh diuretik dan peningkatan gula darah.

Tuesday, February 11, 2014

Perkembangan Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.


Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes.

WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi diabetes melitus Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.

Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.

Monday, February 10, 2014

Sunday, February 9, 2014

Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada Diabetes Melitus Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan Diabetes Melitus Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).


ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 1. Hampir 90% penderita Diabetes Melitus Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk Diabetes Melitus Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans.

Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita Diabetes Melitus Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel  β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.

Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita Diabetes Melitus Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita Diabetes Melitus Tipe 2 ditemukan positif ICSA.

Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita Diabetes Melitus Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk Diabetes Melitus Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi.

Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita Diabetes Melitus Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin.

Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai Diabetes Melitus Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita Diabetes Melitus Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita Diabetes Melitus Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita Diabetes Melitus Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita Diabetes Melitus Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita Diabetes Melitus Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita Diabetes Melitus Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin.

Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada Diabetes Melitus Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.